Minggu, 25 Mei 2014

FRAMBUSIA



BAB I
PENDAHULUAN

1.1              1.1 Latar Belakang

Ada dua penyakit kulit yang perlu diwaspadai karena sering diabaikan yaitu Kusta dan Frambusia. Kusta dan frambusia merupakan penyakit kulit menular dan menahun yang mudah disembuhkan apabila ditemukan secara dini. Bila ditemukan sedini mungkin dan diobati dengan baik maka dapat mencegah penderita dari kecacatan tetap dan sembuh dalam waktu 6 bulan.
Frambusia, adalah penyakit kulit menular disebabkan oleh Treponema pertenue. Biasa disebut yaws (bahasa Inggris) dan patek (dalam bahasa Jawa). penyebarannya tidak melalui hubungan seksual, yang dapat mudah tersebar melalui kontak langsung antara kulit penderita dengan kulit sehat. Penyakit ini tumbuh subur terutama di daerah beriklim tropis dengan karakteristik cuaca panas, banyak hujan, yang dikombinasikan dengan banyaknya jumlah penduduk miskin, sanitasi lingkungan yang buruk, kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang padat penduduk dan kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai.
Frambusia dapat bersifat kronik apabila tidak diobati, dan akan menyerang dan merusak kulit, otot serta persendian sehingga menjadi cacat seumur hidup. Pada 10% kasus frambusia, tanda-tanda stadium lanjut ditandai dengan lesi yang merusak susunan kulit yang juga mengenai otot dan persendian.
Di dunia, pada awal tahun 1950-an diperkirakan banyak kasus frambusia terjadi di Afrika, Asia, Amerika Selatan dan Tengah serta Kepulauan Pasifik, sebanyak 25 – 150 juta penderita. Setelah WHO memprakarsai kampanye pemberantasan frambusia dalam kurun waktu tahun 1954 – 1963, para peneliti menemukan terjadinya penurunan yang drastis dari jumlah penderita penyakit ini. Namun kemudian kasus frambusia kembali muncul akibat kurangnya fasilitas kesehatan publik serta pengobatan yang tidak adekuat. Dewasa ini, diperkirakan sebanyak 100 juta anak-anak beresiko terkena frambusia.
Di Indonesia sendiri masih ada, tersebar di daerah kantong-kantong kemiskinan. Pada tahun 1990, 21 provinsi dari 31 provinsi di Indonesia melaporkan adanya penderita frambusia. Ini tidak berarti bahwa provinsi yang tidak melaporkan adanya frambusia di wilayah mereka tidak ada frambusia, hal ini sangat tergantung pada kualitas kegiatan surveilans frambusia di provinsi tersebut.


1.2           Rumusan Masalah

1.2.1        Bagaimana Aspek Epidemiologi pada Penyakit Frambusia  (terkait agent, host, environment, prevalensi, cara penularan, perjalanan penyakit, dan klasifikasi gejala penyakit) ?
1.2.2        Bagaimana Pencegahan Penyakit Frambusia ?
1.2.3        Bagaimana Program Pemberantasan Penyakit Frambusia?

1.3              Tujuan

1.3.1        Mengetahui Aspek Epidemiologi pada Penyakit Frambusia  (terkait agent, host, environment, prevalensi, cara penularan, perjalanan penyakit, dan klasifikasi gejala penyakit)
1.3.2        Mengetahui Pencegahan Penyakit Frambusia
1.3.3        Mengetahui  Program Pemberantasan Penyakit Frambusia
















BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Epidemiologi Penyakit Frambusia
            2.1.1    Agen Penyebab
Penyebab penyakit frambusia adalah Treponema partenue, subspesies pertenue dari   spirochaeta yang mempunyai bentuk spiral,ditemukan pertama kali oleh Castellani pada tahun 1905, sifat Treponema partenue  adalah tidak tahan kering, tidak tahan dingin dan tidak tahan panas. Sifat Morfologik (bentuk,ukuran dan gerak) sulit dibedakan dengan Treponema Pallidium penyebab sipilis. Berbeda dengan Treponema palladium, kuman ini tidak menyebabkan infeksi kongenital karena tidak dapat melalui plasenta. Kuman ini banyak dan mudah ditemukan pada jejas kulit penderita frambusia pada stadium permulaan. Berkembang biak sangat lambat (setiap 30-33 jam) pada manusia dan binatang percobaan, tetapi tidak dapat tumbuh dalam “culture”. Berdasarkan karateristik agen, beberapa aspek terkait frambusia yaitu :
a.       Infektivitas dibuktikan dengan kemampuan sang agen untuk berkembang biak di dalam jaringan penjamu.
b.      Patogenesitas dibuktikan dengan perubahan fisik tubuh yaitu terbentuknya benjolan-benjolan kecil di kulit yang tidak sakit dengan permukaan basah tanpa nanah.
c.       Virulensi penyakit ini bisa bersifat kronik apabila tidak diobati, dan akan menyerang dan merusak kulit, otot serta persendian sehingga menjadi cacat seumur hidup. Pada 10% kasus frambusia, tanda-tanda stadium lanjut ditandai dengan lesi yang merusak susunan kulit yang juga mengenai otot dan persendian.
d.      Toksisitas yaitu dibuktikan dengan kemampuan agen untuk merusak jaringan kulit dalam tubuh penjamu.
e.       Invasitas dibuktikan dengan dapat menularnya penyakit antara penjamu yang satu dengan yang lainnya.
f.       Antigenisitas yaitu sebelum menimbulkan gejala awal agen mampu merusak antibodi yang ada di dalam penjamu
      Sumber infeksi penyakit frambusia ini yaitu :
a.       Sumber Penularan adalah manusia (penderita frambusia) terutama golongan umur dibawah 15 tahun.
b.      Kasus laten yaitu mereka yang sudah terkena infeksi tetapi tidak menunjukkan gejala klinik yang aktif.

2.1.2    Host
Karakteristik host atau pejamu pada penyakit frambusia dapat dilihat dari golongan umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,dan pekerjaan.
a.       Golongan Umur
Umumnya lebih banyak menyerang anak-anak golongan umur dibawah 15 tahun (> 95%).
b.      Jenis Kelamin
Distribusi penyakit frambusia pada laki-laki dan perempuan berbeda. Hal ini disebabkan karenya adanya perbedaan cara hidup (kegiatan sehari-hari). Dalam usia muda lebih banyak laki-laki yang terkena karena laki-laki banyak bermain dan bergaul sehingga kemungkinan lebih mudah terjadi luka (infeksi). Pada usia dewasa lebih banyak wanita yang terkena karena dalam usia ini wanita banyak kontak dengan anak-anak yang menderita frambusia.
c.       Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan kemungkinan terserang frambusia lebih besar,akibat kurangnya pengetahuan tentang kebersihan diri di lingkungan.
d.      Pekerjaan
Tidak terlalu berpengaruh terhadap jenis pekerjaan,sebab pada umumnya yang banyak terserang adalah anak-anak usia sekolah (belum bekerja).

2.1.3        Environment
                  Pola penyebaran dari penyakit frambusia terkait pada :
a.       Lingkungan Fisik
Frambusia banyak terjadi pada daerah tropis di pedesaan yang panas dan lembab. Di daerah endemik frambusia prevalensi infeksi meningkat selama musim hujan. Menurut WHO (2006) bahwa kasus frambusia di Indonesia pada tahun 1949 meliputi NAD, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa (Jawa Timur) dan sebagian besar Wilayah Timur Indonesia yang meliputi Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua.
b.      Temperatur
Umumnya penyakit frambusia terdapat di daerah dengan temperatur rata-rata 27oC dan curah hujan tinggi.
c.       Lingkungan sosial ekonomi
Kepadatan penduduk, kurangnya persediaan air bersih, dan keadaan sanitasi serta kebersihan yang buruk, baik perorangan maupun pemukiman. Kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai dan kontak langsung dengan kulit penderita penyakit frambusia.
Pengetahuan masyarakat tentang penyakit ini masih kurang karena ada anggapan salah bahwa penyakit ini merupakan hal biasa dialami karena sifatnya yang tidak menimbulkan rasa sakit pada penderita. enyakit ini biasanya banyak ditemui pada penduduk pedesaan terutama didaerah yang padat penduduknya miskin dan status gizi yang kurang.
d.      Status Hygiene
Hygiene yang kurang baik perorangan maupun lingkungan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi penyebaran penyakit farmbusia.
Di samping faktor yang mempengaruhi pola penyebaran frambusia di atas, masih ada faktor yang mempengaruhi yang belum diketahui secara jelas yang menyebabkan peta frambusia menunjukkan gambaran yang lokal (apactchy), sehingga merupakan fokus-fokus frambusia. Sering diantara dua desa yang berdampingan letaknya dengan keadaan alam yang sama, ekonomi dan cara hidup rakyat yang sama, ada perbedaan insidensi frambusia.

2.1.4        Prevalensi Frambusia          
a.       Prevalensi Frambusia di Indonesia
            Pada saat ini Indonesia merupakan penyumbang terbesar kasus Frambusia di Asia Tenggara yang tersebar di  provinsi wilayah timur Indonesia yaitu NTT, Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua dan Papua Barat .Hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukan bahwa Indonesia pada Pelita III (1980/1981) terjadi penurunan angka prevalensi  akan tetapi pada Pelita IV (1984/1985) angka prevalensi cenderung meningkat yakni 0,066% sampai dengan 0,394%. Infeksi menular frambusia di Indonesia diperkirakan 0,040% (4015 kasus per 100.000 penduduk), tahun 2005 yaitu 0,025% (2560 kasus per 100.000 penduduk). Kejadian frambusia di Indonesia pada tahun 2004 s/d tahun 2006 mencapai 40% kasus yang tidak dilaporkan. Selain itu tahun 2009 masih ditemukan 8.309 kasus frambusia terutama kasus-kasus di pedalaman Papua, pedalaman Sumatera, pedalaman Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur (NTT), hal ini karena keterbatasan sumberdaya,dana dan kemiskinan dan masih eratnya masyarakat kesukuan di daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau untuk pelayanan pengobatan frambusia aktif dan pasif, (WHO, 2006).
            Propinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi yang mempunyai penyebaran penyakit frambusia cukup tinggi .Pada tahun 2006 NTT memiliki 20 Kabupaten/Kota dengan jumlah kasus terbanyak terdapat di Kabupaten Sumba Barat yaitu 13,423 kasus klinis tersebar di 115 desa, Kabupaten Alor, Belu dan TTS lebih dari 100 kasus per 10.000 penduduk,Kabupaten Sumba Timur khususnya Kecamatan Nggaha Ori Angu yaitu lebih dari 200 kasus per 10.000 penduduk. Penyakit Frambusia di NTT hingga akhir Desember 2007 angka prevalensi rate-nya mencapai 3,5 per 10.000 penduduk, sedangkan di Kabupaten Belu angka prevalensi rate 5,6 per 10.000 penduduk. Angka ini jauh di atas target nasional yaitu 1/10.000 penduduk. Memasuki tahun 2008, penyakit frambusia di Belu tercatat dengan angka prevalensi 10,4/10.000 penduduk yang tersebar di 39 desa di tiga wilayah kerja puskesmas, yaitu Puskesmas Bidukfoho, Kaputu dan Tunabesi.(Dinkes. Prop.NTT, 2007). Kasus  frambusia  di  Kota  Jayapura  selama  tahun  2007 terbanyak  pada  kelompok  umur  5-9  tahun  (51,19%).Penyakit frambusia  banyak diderita  anak  dengan kelompok  umur  antara  6-10  tahun  dan  75  %  penderita penyakit   frambusia   adalah anak-anak usia < 15 tahun, (Dinkes Jayapura,2008).
            Menurut Depkes RI, (2004), penetapan standar pencapaian program penyakit frambusia di Indonesia tahun 1994 secara nasional prevalensi < 1 kasus per 100.000 penduduk, akan tetapi pada tahun 2004 masih ditemukan lebih dari 4000 kasus di daerah-daerah yang menjadi kantong penyakit frambusia. Hal ini di pengaruhi oleh faktor host, agent dan environtment termasuk pendidikan, pengetahuan, sosioekonomi dan  perubahan iklim.

b.      Prevalensi Frambusia di dunia     
Pada tahun 1950 diperkirakan 50 - 100 juta kasus infeksi frambusia di daerah endemik meliputi Afrika, Asia, Amerika Latin dan Kepulauan Caribbean. Pada tahun 1970 infeksi kasus frambusia 2 juta, tahun 1980 diperkirakan 500 kasus per 100.000 penduduk.
1)      Prevalensi kasus aktif di Amerika Selatan : Brazil 2.5%, Haiti 50%
2)      Africa  : Liberia 30%, Kamerun 5.6%.
3)      Asia Tenggara : Thailand 3.1%, dan 17.2% di Indonesia. 
4)      Di India pada tahun 1950 diperkirakan lebih dari 20 juta kasus infeksi frambusia berada diseluruh daerah bagian.
Pada tahun 1970 diperkirakan 855.000 kasus infeksi frambusia. Tahun 1995 terdapat 1500 kasus per 100.000 penduduk didaerah basis frambusia, survei tahun 1997 prevalensi frambusia sebesar 3571 kasus. Frambusia mulai berkurang pada tahun 2003 yakni 46 kasus per 100.000 penduduk yang di laporkan.

2.1.5    Cara Penularan Frambusia
            Penularan atau infeksi penyakit frambusia banyak terjadi secara langsung (direct contact) dan penularan secara tidak langsung (indirect contact).
a.       Penularan secara langsung (direct contact)
Penularan secara langsung dari penderita ke orang lain jika jelas dengan gejala menular (mengandung Treponema pertenue), yang terdapat pada kulit seorang penderita, bersentuhan dengan kulit orang lain yang ada lukanya. Luka itu mungkin sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat dengan mata. Infeksi mungkin juga terjadi dalam persentuhan antara jejas (lesion) dengan gejala menular dengan selaput lendir.
b.      Penularan secara tidak langsung (indirect contact)
Penularan secara tidak langsung mungkin dapat terjadi dengan perantaraan benda atau serangga, tetapi hal ini sangat jarang. Dalam persentuhan antara jejas dengan gejala menular dengan kulit (selaput lendir) yang luka, Treponema pertenue yang terdapat pada jejas (lesion) itu masuk ke dalam kulit melalui luka tersebut.

Terjadinya infeksi yang diakibatkan oleh masuknya Treponema pertenue dapat mengalami dua kemungkinan yaitu infeksi effective dan infeksi ineffective.
a.       Infeksi effective.
Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit berkembang biak, menyebar di dalam tubuh dan menimbulkan gejala-gejala penyakit. Infeksi effective dapat terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit cukup virulen dan cukup banyaknya dan orang yang mendapat infeksi tidak kebal terhadap penyakit frambusia. 
b.      Infeksi ineffective.
Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak dapat berkembang biak dan kemudian mati tanpa dapat menimbulkan gejala-gejala penyakit. Infeksi effective dapat terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak cukup virulen dan tidak cukup banyaknya dan orang yang mendapat infeksi mempunyai kekebalan terhadap penyakit frambusia.

2.1.6    Perjalanan Penyakit
Penyakit frambusia merupakan penyakit menular yang menahun, sering kambuh sehingga menyebabkan penderitaan yang lama dan menimbulkan kerusakan pada jaringan-jaringan tubuh. Perjalanan penyakit frambusia terbagi menjadi beberapa tahap yaitu:
a.       Masa inkubasi
Masa inkubasi adalah rentang masa dimana terjadinya infeksi hingga timbulnya gejala permulaan. Dalam masa inkubasi, Treponema telah berkembang biak dan menyebar dalam tubuh, tetapi belum menimbulkan gejala-gejala yang dapat diketahui sewaktu pemeriksaan klinik. Masa inkubasi peyakiit frambusia berkisar antara 9-90 hari (rata-rata 21 hari).
b.      Stadium primer
Setelah masa inkubasi antara 9-90 hari (rata-rata 3 minggu), lesi primer atau induk frambusia berkembang pada sisi yang terkena penularan berupa gigitan, goresan dan gesekan dengan kulit yang terkena frambusia. Umumnya terjadi di daerah anggota gerak (lengan dan kaki). Lesi berwarna kemerahan, tidak nyeri dan kadang-kadang gatal-gatal berbentol/kutil (papul). Papula-papula tersebut akan meluas dengan diameter 1-5 cm untuk kemudian menjadi ulkus (luka terbuka) dengan dasar berwarna kemerahan seperti buah berry. Lesi-lesi satelit bisa bersatu membentuk plak. Karena jumlah treponema yang banyak, maka lesi tersebut sangat menular. Pembesaran kelenjar limfa, demam serta rasa nyeri merupakan tanda dari stadium ini. Induk frambusia akan pecah dalam 2-9 bulan yang meninggalkan bekas dengan bagian tengah yang bersifat hipopigmentasi.
c.       Stadium sekunder
Sekitar 6-16 minggu setelah stadium primer. Lesi kulit atau lesi anakan yang menyerupai lesi induk tapi berukuran lebih kecil yang biasanya ditemukan dipermukaan tubuh dan sebagian di rongga mulut atau hidung. Lesi anakan ini akan meluas, membentuk ulkus dan menghasilkan cairan-cairan fibrin yang berisi treponema, yang kemudia mengering menjadi krusta. Cairan tersebut menarik lalat-lalat untuk hinggap dan kemudian menyebarkannya ke orang lain. Kadang-kadang bentuk serupa infeksi jamur dapat terlihat. Kondisi ini diakibatkan proses penyembuhan inti dari papiloma atau gabungan dari lesi yang membentuk bundaran. Lesi di aksila atau di lipat paha menyerupai condylomatalata. Papila-papila di telapak kaki berberntuk tipis, hiperkeratosis yang akan menjadi erosi. Rasa nyeri menandai stadium ini.
d.      Stadium tersier
Pada stadium ini, sekitar 10% kasus setelah 5-15 tahun akan kembali kambuh, yang ditandai dengan lesi kulit yang destruktif, lesi pada tulang dengan kemungkinan terkenanya jaringan saraf dan penglihatan penderita. Bertambahnya ukuran, tidak nyeri, perkembangan nodul-nodul dibawah kulit dengan penampakan nanah nekrosis dan ulkus. Ulkus tersebut terinfeksi karena rusaknya struktur kulit dibawahnya. Bentuk hiperkeratosis dan keratoderma pada telapak tangan dan kaki sangat jelas terlihat. Stadium ini dapat menyerang tulang dan persendian. Infeksi tulang (osteitis) yang terutama menyerang tulang kaki dan tangan. Infeksi ini apabila tidak terkendali akan menyebabkan hancurnya struktur tulang, dan berakhir dengan kecacatan dan kelumpuhan.

Secara epidemiologik, berdasarkan lamanya masa perjalanan penyakit seperti yang telah diuraikan di atas, penyakit frambusia dapat dibedakan menjadi frambusia dini (early yaws) yang berlangsung selama kurang dari lima tahun dan frambusia lanjut (late yaws) yang berlangsung selama lebih dari lima tahun. Karateristik frambusia dini dan lanjut diuraikan di bawah ini.
a.       Karakteristik frambusia dini (early yaws)
1)      Semua jejas (lesion) timbul pada lima tahun pertama setelah infeksi.
2)      Jejas biasanya basah karena mengeluarkan getah radang (eksudat) yang banyak mengandung Treponema pertenue.
3)      Ada beberapa jejas pada masa dini yang tidak mengeluarkan getah radang yaitu macula, maculapula, dan papula.
4)      Jejas-jejas ini biasanya sembuh tanpa meninggalkan jaringan parut, karena tidak ada ulserasi, meskipun terkadang ada perubahan susunan jaringan dan elastisitas kulit.
5)      Bentuk paling khas ialah papiloma. Semua jejas yang timbul sebelum atau bersamaan dengan papiloma ini termasuk jejas tahap dini (early lesion). Papiloma mengeluarkan getah radang.
6)      Penderita dengan jejas tahap dini merupakan penderita frambusia menular.
7)      Pada masa laten tidak dapat dijumpai jejas yang aktif tetapi proses penyakit masih berlangsung yang diketahui dengan reaksi STS yang positif (seroreaktif).
8)      Masa laten dini dapat diselingi dengan relapse

b.      Karakteristik frambusia lanjut (late yaws)
1)      Semua jejas timbul pada lima tahun atau lebih setelah infeksi terjadi.
2)      Jejas biasanya kering kecuali bila disertai ulkus.
3)      Jejas tidak mengandung Treponema pertenue, kalaupun ada biasanya sangat sedikit.
4)      Penderita dengan jejas tahap lanjut dianggap penderita frambusia tidak menular
5)      Bentuk ulkus merupakan jejas masa lanjut yang khas yang dapat mengenai kulit dan jaringan subkutan termasuk kulit, telapak tangan dan kaki, mukosa, tulang dan persendian.
6)      Kerusakan jaringan akibat ulserasi pada jejas tahap lanjut akan meninggalkan jaringan parut bila sembuh.
7)      Semua jejas yang timbul bersamaan atau sesudah ulkus termasuk jejas masa lanjut.
8)      Masa laten lanjut dapat diselingi dengan relapse atau dapat berakhir sembuh.
           
2.1.7    Klasifikasi Gejala Frambusia
                        Tabel dibawah ini adalah klasifikasi gejala frambusia berdasarkan :
a.       Nomenklatur Internasional untuk Gejala-Gejala Frambusia
b.      Klasifikasi Frambusia berdasarkan Sembilan golongan menurut WHO
c.       Klasifikasi penderita frambusia untuk keperluan pemberantasan
Nomenklatur Internasional untuk Gejala-Gejala Frambusia


Klasifikasi Frambusia berdasarkan Sembilan golongan menurut WHO
Klasifikasi penderita frambusia untuk keperluan pemberantasan
Early yaws
Late yaws


Initial lesions (papilloma/ ulcero papilloma)
-----------------
1.  initial lesions (gejala permulaan)
FRAMBUSIA MENULAR
papillomata
----------------
2. Multiple pappilomata tersebar
3. “Wet crab” yaws (bubul)
Macules
Macula-papules
Micro papules
Plaques
Nodules
----------------
4. other early skinlesions (gejala frambusia dini lain pada kulit)
Hyperkeratosis early yaws
Hyperkeratosis early yaws
5. Hyperkeratosis
FRAMBUSIA TIDAK MENULAR

Nodular late yaws, ulcera ted nodular lae yaws plaques of late yaws
6. (a) Gummata ulcera
    (b) Gangosa
Bone and joint early yaws
Bone and joint early yaws
7. Bone and joint  lesion (gejala pada tulang dan sendi)

Juxta articular nodules
8. Other manifestations
Latent early yaws
Latent early yaws
9. Latent yaws (frambusia laten)
Penderita dalam keadaan masa laten


2.2              Pencegahan Penyakit Frambusia
2.2.1    Pencegahan Primer
Tujuan dari pencegahan primer adalah untuk mengurangi insidensi penyakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab penyakit dan faktor-faktor resikonya. Upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan yang dapat dilakukan adalah:
a.       Lakukanlah upaya promosi kesehatan umum, berikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang treponematosis, jelaskan kepada masyarakat untuk memahami pentingnya menjaga kebersihan perorangan dan sanitasi-sanitasi yang baik, termasuk penggunaan air dan sabun yang cukup dan pentingnya untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi dalam jangka waktu panjang untuk mengurangi angka kejadian.
b.      Mengorganisir masyarakat dengan cara yang tepat untuk ikut serta dalam upaya pemberantasan dengan memperhatikan hal-hal yang spesifik di wilayah tersebut.
c.       Disinfeksi serentak: bersihkan barang-barang yang terkontaminasi dengan discharge dan buanglah discharge sesuai dengan prosedur.

2.2.2    Pencegahan Sekunder
            Sasaran pencegahan ini terutama ditujukan kepada mereka yang menderita atau dianggap menderita (suspect) atau yang terancam akan menderita (masa tunas). Adapun tujuan usaha pencegahan tingkat kedua ini yang meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat agar dapat dicegah meluasnya penyakit atau untuk mencegah timbulnya wabah, serta untuk segera mencegah proses penyakit untuk lebih lanjut serta mencegah terjadinya akibat samping atau komplikasi.
a.         Pencarian penderita dan  kontak secara dini , baik aktif maupun pasif, melalui peningkatan usaha surveillance penyakit frambusia,
1)        Penemuan penderita dan kontak secara aktif
Memeriksa anak-anak umur dibawah 15 tahun  baik di sekolah maupun di masyarakat dan dilanjutkan dengan penemuan kontak, pelacakan.
a)         Pemeriksaan anak sekolah (School survey)
Pemeriksaan ini dilakukan oleh petugas kesehatan yang sudah terlatih mendiagnosa penyakit frambusia yang biasanya berbentuk tim terdiri dari 2-3 orang petugas. Dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Sewaktu melakukan pemeriksaan anak sekolah, pertama-tama hubungan dengan kepala sekolah atau wakilnya, menyampaikan maksud kedatangan tim sehubungan dengan pemberitahuan sebelumnya dan kegiatan yang akan dilakukan. Kemudian diminta agar setiap wali kelas menyiapakan daftar muridnya, berapa yang hadir dan berapa yang absen. Setelah siap tim bersama wali kelas memasuki kelas. Wali kelas menjelaskan maksud kedatangan tim, kemudian petugas kesehatan menjelaskan secara singkat kegiatan tim dan apa yang harus dilakukan anak-anak. Penjelasan ini dapat singkat atau agak panjang, tergantung situasi dan kondisi anak-anak. Diharapkan petugas tim memahami teknik-teknik penyuluhan yang tepat.
Pemeriksaan dilakukan secara sistematis, di tempat yang terang sebaiknya di luar kelas. Dengan langkah-langkah sebagai berikut:
·           Semua laki-laki buka baju, kaos dan sarung, lepas celana panjang hingga kelihatan seluruh badan dari pinggang ke atas dan lutut ke bawah.
·           Semua perempuan tidak perlu buka baju, tetapi sewaktu memeriksa lutut dan betis, kain atau sarung diangkat seperlunya.
·           Semua anak kecil harus telanjang bulat.
·           Pemeriksa duduk membelakangi tempat yang terang hingga seluruh sinar menerangi orang yang diperiksa.
·           Orang yang diperiksa berdiri menghadap pemeriksa.
·           Pemeriksa berturu-turut melihat ke atas dan ke bawah dan memperhatikan gejala-gejala yang ada di wajah, dahi, sekitar mata, hidung, mulut. Jika ada gejala-gejala frambusia ditemukan, cepat dicatat. Perhatian pemeriksaan pindah ke bawah, lihat leher bagian depan, dada dan ketiak.
·           Perhatian pindah pada kedua lengan dan telapak tangan. Sesudah itu ditanyakan apakah di badan yang tertutup ada luka atau kelainan-kelainan karena frambusia. Pemeriksaan selanjutnya pada bagian tulang kering dan kaki.
·           Kemudian orang yang diperiksa disuruh berbaring membelakangi pemeriksa dan sekarang berturut-turut ditujukan dari bagian atas ke bawah mulai dari kepala, tengkuk, punggung, siku tangan, siku lutut, betis dan telapak kaki.
·           Pada waktu memeriksa telapak kaki, orang yang diperiksa berdiri dengan mengangkat kakinya ke belakang secara bergantian antara kaki kiri dan kaki kanan, dan diminta berpegangan pada meja agar tidak jatuh.
·           Anak kecil dibuka lipatan pantatnya.
          Penderita-penderita yang ditemukan baik yng menular dan tidak menular dicatat nama dan alamatnya, nama orang tua, dan anggota keluarga yang lain didalam kartu penderita (kartu status).
          Semua penderita yang ditemukan, setelah dicatat semuanya disuntik oleh tim pemeriksa (tidak boleh ada satu anakpun yang lolos).
          Gejala-gejala yang ditemukan pada penderita hendaknya ditunjukkan kepada guru-guru dan murid-murid supaya mereka mengenal (atau lebih mengenal) bentuk dan gejala-gejala frambusia.
Sementara itu kepada mereka hendaknya juga diberikan keterangan singkat yang mudah dimengerti tentang frambusia, gejala-gejalanya cara penularan dan penyebarannya, akibatnya faktor-faktor yang mempengaruhinya dan cara bagaimana orang melindungi diri terhadap penularan serta pentingnya pengobatan yang cepat diberikan kepada penderita-penderita, tidak hanya untuk menyembuhkan mereka, akan tetapi juga untuk mencegah penularan kepada orang lain.
          Disamping itu perlu memberikan anjuran agar guru-guru  dalam waktu tertentu mengawasi murid-muridnya bila memungkinkan mengadakan pemeriksaan simultan sebagaimana diterangkan diatas dan jika diantaranya terdapat penderita-penderita frambusia hendaknya segera dikirim ke puskesmas.
b)        Pemeriksaan anak usia 15 tahun ke bawah
Teknik pemeriksaan harus dilakukan secara sistematis menurut urut-urutan hingga tidak ada bagian badan yang ketinggian sesuai dengan cara pemeriksaan anak sekolah.
c)         Pencarian kontak penderita (kelas, serumah dan tetangga sepermainan)
Jika ditemukan 1 orang penderita, diperkirakan penderita tersebut telah kontak dengan 10-20 orang disekitarnya. Oleh karena itu maka perlu dilakukan pencarian kontak untuk diberikan pengobatan.
Pencarian kontak harus dilakukan terhadap:
·           Kontak kelas
Yaitu teman sekelas yang akrab dengan penderita seperti teman sebangku/seiring sejalan ke sekolah atau teman sepermainan dan teman sekelas yang mempunyai pintu penyakit seperti luka dan sebagainya.
·           Kontak serumah
Yaitu seluruh anggota keluarga yang tinggal serumah adalah penderita terutama anak-anak dibawah umur 15 tahun.
·           Kontak tetangga/sepermainan
Yaitu anak-anak yang sering berkunjung dan bermain ke rumah penderita atau sebaliknya anak-anak penderita berada di rumah yang sering dikunjungi penderita.
d)        Pelacakan
Pelacakan dilakukan jika menemukan kasus indeks baik yang ditemukan secara aktif maupun pasif.
·           Tujuan
Tujuan dari pelacakan yaitu untuk mendapatkan kasus tambahan dan mendeteksi penyebaran serta memberikan pengobatan terhadap penderita dan kontaknya.
·           Sasaran
Sasaran utama adalah rumah penderita (index case) dan rumah-rumah disekitarnya yang diperkirakan sering dikunjungi oleh penderita atau sebaliknya dalam waktu tiga bulan terakhir.
·           Pelaksana
Pelacakan dilakukan oleh petugas kesehatan, dilakukan setiap saat terhadap kasus indeks.
·           Tindakan
Tergantung pada jumlah penderita yang ditemukan penyebaran penderita dan situasi epidemiologis di lapangan. Disamping pengobatan penderita dan kontak bila perlu dapat dilakukan survey yang lebih luas.
Sebelum melakukan pemeriksaan anak sekolah/anak <15 tahun di masyarakat, lebih dahulu petugas menghubungi kepala sekolah/kepala desa:
·           Untuk memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan pemberantasan, penyakit frambusia pada umumnya dan kegiatan survey, pada khususnya agar memperoleh peserta dan bantuan yang semaksimal mungkin.
·           Menentukan jadwal pemeriksaan.
·           Mempersiapkan daftar nama-nama murid/anak lainnya beserta alamat rumahnya.
2)        Penemuan penderita secara pasif
a)         Penderita yang datang berobat ke Pukesmas, bidan, mantri atau balai pengobatan/fasilitas pengobatan lainnya.
b)        Laporan penduduk adanya penderita di daerah mereka.

b.        Diagnosis dan pemeriksaan serologis.
1)      Diagnosis
Diagnosis frambusia terbagi menjadi dua bagian:
a)        Diagnosa klinik/lapangan
Diagnosa di lapangan terutama berdasarkan pemeriksaan pemeriksaan klinik sesuai dengan bentuk dan sifat kelainan yang ada.
b)        Demonstrasi Treponema/ pemeriksaan langsung
·         Metode mikroskop lapangan gelap (darkfield microscope).
·         “Smear” yang sudah difiksasi dilihat langsung dibawah mikroskop lapangan gelap.
·         Pengecatan dengan Giemsa.

2)      Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan serologis untuk penyakit frambusia dipergunakan pemeriksaan yang sama dengan pemeriksaan untuk medeteksi penyakit sifilis yaitu VDRL dan TPHA. Pemeriksaan serologis ini berguna untuk
a)        Menemukan penderita-penderita dalam masa laten yang tidak menunjukkan gejala klinik, tetapi ternyata seroposi. Mereka (penderita) seperti ini adalah “reservoir” frambusia.
b)        Dapat dipakai untuk lebih memastikan diagnosa dalam keadaan yang meragukan, apakah suatu penyakit disebabkan oleh Treponema atau bukan (konfirmasi diagnosa). Pemeriksaan serologis pada penyakit frambusia dilakukan pada anak-anak umur dibawah 15 tahun sebagai sasaran karena diasumsikan pada usia tersebut belum pernah melakukan hubungan seksual sehingga dapat dianggap bahwa mereka hanya pernah tertular frambusia dan sifilis kongenital.

2.2.3    Pencegahan Tersier
Sasaran pencegahan tingkat ketiga adalah penderita penyakit Frambusia dengan tujuan mencegah jangan sampai cacat atau kelainan permanen, mencegah bertambah parahnya penyakit tersebut atau mencegah kematian akibat penyakit tersebut. Berbagai usaha dalam mencegah proses penyakit lebih lanjut agar jangan terjadi komplikasi dan lain sebagainya.
Pada tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari penyembuhan penyakit Frambusia. Rehabilitasi adalah usaha pengembalian fungsi fisik, psikologis, sosial seoptimal mungkin yang meliputi rehabilitasi fisik atau medis, rehabilitasi mental atau psikologis serta rehabilitasi sosial.
Berikut adalah beberapa obat yang dapat digunakan pada penderita Frambusia.
a.         Obat pilihan
1)      PAM (Penicillin procain with Alluminium Monostearate in Oil)
Termasuk “long acting penicillin” yang memang dipilih untuk memberikan kadar obat dalam darah yang cukup tinggi dalam waktu yang cukup tinggi dalam waktu yang cukup lama. Untuk mematikan Treponema pertenue dalam tubuh diperlukan konsentrasi paling kurang 0,3 unit penicillin per 1 ml serum selama 4-6 hari. Obat ini mudah diberikan dengan satu kali suntikan (one shot injection) secara intramuscular dengan dosis sebagai berikut:
Golongan Umur
Dosis
Penderita
Kontak
0-14 th
600.000 U (2 ml)
300.000 (1 ml)
>14 th
1.200.000 U (4 ml)
600.000 (2 ml)

2)      Benzathin Penicillin G.
Juga termasuk “long acting penicillin” yang dapat diberikan sebagai pengganti PAM, mempunyai efek terapatsik yang sama dengan PAM, tetapi harganya lebih mahal. Diberikan secara suntikan intramuskuler dengan dosis tunggal sebagai berikut:
Golongan Umur
Dosis
Penderita dan kontak
0-14 th
600.000 U (2 ml)
>14 th
1.200.000 U (4 ml)

b.        Obat tambahan
Diberikan untuk sekedar menolong penduduk sekitarnya terutama penderita penyakit kulit lainnya yang berbentuk luka-luka (ulcer) yang besarnya lebih dari 2cm, suntikan PAM/Benzhatine Penicillin dengan dosis 300.000 U (1 ml).
c.         Obat alternatif
Kepada penderita yang peka terhadap penicillin diberikan pengobatan alternatif yang penyembuhannya harus dimonitori. Menurut laporan-laporan di negara lain hanya menghasilkan -80% “cure rate”, oleh karenanya hanya dilakukan kalau penderita alergi terhadap penicillin.
1)      Aureomisin
·         Anak-anak : 0,75 - 1,5 mg selama 4 hari
·         Dewasa     : 2 gr selama 5 hari

2)      Teramisin
·         3 gr pada hari ke I
·         2 gr pada hari ke II                       Dalam dosis yang dibagi selama 
·         2 gr pada hari ke III                        tiga hari berturut-turut

3)      Tetrasiklin
·         Anak-anak : 25 mg/kg berat badan selama 5 hari
·         Dewasa     : 2 gr sehari selama 5 hari

Karena obat-obatan ini diberikan per oral maka harus ada pengawasan yang baik untuk menjamin bahwa obat betul-betul diminum oleh penderita. Sebaiknya penderita selama pengobatan diminta datang ke puskesmas dam menelan obat di muka petugas. Bila ini tak mungkin, maka petugas harus mengunjungi rumah penderita.
Pengobatan dengan PAM/Benzhatine Penicillin kepada masyarakat di desa-desa biasanya tidak menimbulkan gangguan. Suntikan ini kadang-kadang mengakibatkan :
a.       Keringat keluar kurang lebih 3 jam sesudah suntikan (biasanya ringan atau hanya sampai membasahi baju)
b.      Timbul bintik-bintik yang terasa agak gatal
c.       Gangguan yang lebih berat adalah orangnya pucat, kering, dingin dan pingsan (anaphylactic shock)
Penderita dalam keadaan shock perlu segera disuntik dengan adrenalin, 1 ml intra muskuler atau subkutan yang dibagi dalam 3 dosis. Setiap dosis diberikan 3 ml dengan interval tiap 20 menit sampai keadaan shock dapat diatasi.
2.3              Program Pemberantasan Frambusia
Program pemberantasan frambusia berikut adalah program pemberantasan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan RI.
a.         Tujuan
1)        Tujuan umum
Eradikasi penyakit frambusia di Indonesia pada tahun 2010
2)        Tujuan khusus
a)        Mengintegrasikan pelaksanaan program eradikasi frambusia ke dalam pelayanan kesehatan dasar.
b)        Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan petugas pelayanan kesehatan dasar dalam mendiagnosis dan mengobati penyakit frambusia
c)        Menjamin ketersediaan obat dan logistik lainnya
d)       Melaksanakan monitoring dan supervise secara efektif

b.         Sasaran
1)        Sasaran
Sasaran adalah seluruh penduduk di daerah focus dengan prioritas golongan umur di bawah 15 tahun, baik yang berada di sekolah dasar, taman kanak-kanak maupun di desa atau masyarakat.
2)        Target
Target pemeriksaan minimal 80% dari sasaran dan pengobatan 100% penderita yang ditemukan dan kontak.

c.         Strategi
1)        Strata
Atas dasar besarnya masalah, seluruh propinsi dibagi menjadi 3 wilayah :
a)        Wilayah bebas frambusia, yaitu wilayah yang tidak ada kasus frambusia, yang dibuktikan dengan sero survey pada anak di bawah 5 tahun selama 3 tahun berturut-turut.
b)        Wilayah pengawasan frambusia (maintenance) yaitu wilayah yang ada kasus frambusia dengan prevalensi < 1 per 10.000 penduduk.
c)        Wilayah penanggulangan (non maintenance) yaitu wilayah yang ada kasus frmabusia dengan prevalensi > 1 per 10.000 penduduk.
2)        Strategi
a)        Provinsi dengan prevalensi <1 dari 10.000 penduduk
·      Meningkatkan kegiatan surveilans
b)        Provinsi dengan prevalensi >1 dari 10.000 penduduk
·      Menemukan penderita secara aktif dan pasif
·      Mengobati semua penderita dan kontak (serumah, sepermainan/tetangga, dan sekelas)
·      Mengintegrasikan kegiata pemberantasan penyakit frambusia dengan program lain melalui pendekatan PKMD (Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa). Pimpinan Puskesmas perlu mengadakan koordinasi pelaksanaan pemberantasan pada unit-unit yang ada baik komponen stsatik maupun komponen keliling Puskesmas.

d.      Kebijakan
1)      Indikator penentuan endemisitas suatu wilayah ditetapkan berdasarkan angka prevalensi
2)      Penanggulangan fokus di daerah endemis dilaksanakan secara bertahap, berdasarkan pertimbangan tinggi rendahnya angka prevalensi dan tersedianya dana.
3)      Upaya pemberantasan dilaksanakan secara terpadu dengan program penyediaan dan pengelolaan air bersih serta program PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat).
4)      Pelaksanaan pemberantasan dilaksanakan dengan prinsip kemitraan.
e.    Kegiatan
1)      Kegiatan pokok
a)        Penemuan penderita dan kontak
·           Aktif
Memeriksa anak-anak umur dibawah 15 tahun baik di sekolah maupun di masyarakat dan dilanjutkan dengan penemuan, kontak, pelacakan
·           Pasif
Penderita yang datang berobat di Puskesmas, bidan, mantra, atau balai pengobatan/fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Selain itu juga dari laporan penduduk adanya penderita di daerah mereka
b)        Pengobatan
Semua penderita menular dan tidak menular serta kontak harus diobati. Pada wilayah dengan prevalensi tertentu, di samping penderita dan kontak penduduk/ anak-anak dibawah 15 tahun perlu juga diobati sesuai dengan table di bawah ini.

Endemisitas
Prevalensi Frambusia
TipePengobatan
Yang diobati
Hiperendemis
>5%
TMT
Semua penduduk
Medium
2-5%
JMT
Semua penderita + semua anak <15 tahun

Keterangan :    TMT   =  Total Mass Treatment
                         JMT    =  Juvenile Mass Treatment
                         SMT   =  Selective Mass Treatment

c)        Follow up
Yaitu memantau penderita yang sudah mendapat pengobatan dan mencari penderita serta kontak yang lolos pada kegiatan sebelumnya.
Tindak lanjut ini dilakukan untuk melihat hasil usaha pemberantasan sebelumnya dan menemukan penderita baru
·           Tujuan
-          Melihat ada tidaknya kasus frambusia menular baru
-          Menilai kesembuhan, relaps, reinfeksi dan hasil pengobatan
·           Sasaran
-          Penderita yang telah diobati
-          5% penduduk pada daerah sulit yang diduga tak ada frambusia menular
-          8% anak di bawah umur 15 tahun pada aerah sulit yang diduga ada penderita frambusia
-          Kontak yang belum dapat diobati sebelumnya
·           Pelaksana
Puskesmas dan kabupaten di daerah yang bersangkutan
 Sekurang-kurangnya dilakukan dua kali dengan selang waktu 1 bulan sesuai ditemukannya penderita terakhir. Apabila dalam jangka waktu 1 tahun tidak ditemukan penderita baru , maka perlu dilakukan survei prevalensi.
2)      Kegiatan penunjang
a)        Penyuluhan
b)        Pencatatan dan pelaporan
c)        Pengelolaan logistik
d)       Monitoring dan evaluasi
e)        Kemitraan

Selain menurut Dinas Kesehatan RI, terdapat pula acuan program pemberantasan frambusia menurut WHO, yang meliputi :

a.       Obat yang dipakai

1)      Azitromisin (obat pilihan)
2)      Benzatin penisilin

b.      Kebijakan Pengobatan

1)      Jumlah masyarakat pengobatan, di mana dianjurkan untuk mengobati komunitas endemik seluruh awalnya, terlepas dari jumlah kasus klinis aktif.
2)      Jumlah ditargetkan pengobatan, di mana dianjurkan untuk memperlakukan semua kasus klinis aktif dan kontak mereka (keluarga, sekolah, dan teman-teman bermain

c.       Pelaksanaan langkah-langkah

1)      Mengidentifikasi populasi beresiko.
2)      Pemetaan fokus endemic frambusia dalam negara
3)      Pelatihan petugas kesehatan dan agen masyarakat.
4)      Informasi, Pendidikan dan komunikasi (IEC), mobilisasi sosial dan advokasi.
5)      Kasus-temuan (aktif dan pasif).
6)      Pengobatan kasus dan kontak berdasarkan kebijakan pengobatan baru.
7)      Surveillance (klinis dan serologis).
8)      Supervisi, monitoring dan evaluasi.
9)      Penelitian operasional
10)  Standar pelaporan dan sistem perekaman.
11)  Membangun kemitraan nasional dan internasional.
12)  Pemantauan dan evaluasi.
d.      Indikator
1)      Jumlah kasus baru dilaporkan setiap bulan dari sebuah komunitas.
2)      Cakupan pengobatan.
3)      Prevalensi serologi pada anak usia 1-5 tahun sekali nol kasus tercapai.





           

BAB III
KESIMPULAN

3.1       Aspek Epidemiologi pada Penyakit Frambusia  (terkait agent, host, environment, prevalensi, cara penularan, perjalanan penyakit, dan klasifikasi gejala penyakit)
            3.1.1    Agen
                        Agen penyebab penyakit frambusia adalah Treponema pertenue.
            3.1.2    Host
Host/pejamu penyakit frambusia dapat ditinjau dari golongan umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan. Franmbusia lebih banyak menyerang anak-anak golongan umur dibawah 15 tahun. Dalam usia muda lebih banyak laki-laki yang terkena karena laki-laki banyak bermain dan bergaul sehingga kemungkinan lebih mudah terjadi luka (infeksi). Pada usia dewasa lebih banyak wanita yang terkena karena dalam usia ini wanita banyak kontak dengan anak-anak yang menderita frambusia. Masyarakat berpendidikan rendah lebih sering terserang akibat kurangnya pengetahuan tentang kebersihan diri di lingkungan.. Selain itu banyak terserang adalah anak-anak usia sekolah (belum bekerja).
3.1.3        Environment
            Frambusia banyak terjadi pada daerah tropis di pedesaan yang panas dan lembab. Umumnya penyakit frambusia terdapat di daerah dengan temperatur rata-rata 27oC dan curah hujan tinggi. Kepadatan penduduk, kurangnya persediaan air bersih, dan keadaan sanitasi serta kebersihan yang buruk, baik perorangan maupun pemukiman serta kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai dan kontak langsung dengan kulit penderita penyakit frambusia menyebabkan frambusia cepat menular.. Selain itu hygiene yang kurang baik perorangan maupun lingkungan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi penyebaran penyakit farmbusia.
3.1.4        Prevalensi
Hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukan bahwa Indonesia pada Pelita III (1980/1981) terjadi penurunan angka prevalensi  akan tetapi pada Pelita IV (1984/1985) angka prevalensi cenderung meningkat yakni 0,066% sampai dengan 0,394%. pada tahun 2004 masih ditemukan lebih dari 4000 kasus di daerah-daerah yang menjadi kantong penyakit frambusia.
Pada tahun 1950 diperkirakan 50 - 100 juta kasus infeksi frambusia di daerah endemik meliputi Afrika, Asia, Amerika Latin dan Kepulauan Caribbean. Pada tahun 1970 infeksi kasus frambusia 2 juta, tahun 1980 diperkirakan 500 kasus per 100.000 penduduk.

3.1.5        Cara Penularan
            Penularan atau infeksi penyakit frambusia banyak terjadi secara langsung (direct contact) dan penularan secara tidak langsung (indirect contact). Penularan secara langsung terjadi jika seseorang bersentuhan dengan kulit penderita yang ada lukanya. Penularan secara tidak langsung (indirect contact)  terjadi dengan perantaraan benda atau serangga, tetapi hal ini sangat jarang.
Terjadinya infeksi yang diakibatkan oleh masuknya Treponema pertenue dapat mengalami dua kemungkinan yaitu infeksi effective dan infeksi ineffective. Infeksi effective. terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit berkembang biak, menyebar di dalam tubuh dan menimbulkan gejala-gejala penyakit, virus cukup virulen dan cukup banyak dan orang yang mendapat infeksi tidak kebal terhadap penyakit frambusia. Infeksi ineffective  terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak dapat berkembang biak dan kemudian mati tanpa dapat menimbulkan gejala-gejala penyakit, virus tidak cukup virulen dan tidak cukup banyak dan orang yang mendapat infeksi mempunyai kekebalan terhadap penyakit frambusia.

3.1.6        Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit frambusia terdiri dari masa inkubasi, stadium primer, stadium sekunder dan stadium tersier. Masing-masing dari stadium memiliki ciri khas jejas dan lama waktu yang berbeda.
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, penyakit frambusia dapat dibedakan menjadi frambusia dini (early yaws) yang berlangsung selama kurang dari lima tahun dan frambusia lanjut (late yaws) yang berlangsung selama lebih dari lima tahun.

3.1.7        Klasifikasi Gejala Frambusia
Klasifikasi gejala frambusia dapat didasarkan pada:
a.       Nomenklatur Internasional untuk Gejala-Gejala Frambusia
b.      Klasifikasi Frambusia berdasarkan Sembilan golongan menurut WHO
c.       Klasifikasi penderita frambusia untuk keperluan pemberantasan

3.2      Pencegahan Penyakit Frambusia
3.2.1  Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan mengurangi insidensi penyakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab penyakit dan faktor-faktor resikonya. Upaya-upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah promosi kesehatan umum, memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang treponematosis, mengorganisir masyarakat dengan cara yang tepat untuk ikut serta dalam upaya pemberantasan dengan memperhatikan hal-hal yang spesifik di wilayah tersebut. Di samping itu juga disinfeksi serentak: bersihkan barang-barang yang terkontaminasi dengan Trepanotoma dan membuang sesuai dengan prosedur.

3.2.2    Pencegahan Sekunder
Sasaran pencegahan ini terutama ditujukan kepada mereka yang menderita atau dianggap menderita (suspect) atau yang terancam akan menderita (masa tunas). untuk lebih lanjut serta mencegah terjadinya akibat samping atau komplikasi. Upaya yang dapat dilakukan adalah pencarian penderita dan  kontak secara dini , baik aktif maupun pasif, melalui peningkatan usaha surveillance penyakit frambusia, serta Diagnosis dan pemeriksaan serologis.

3.3.3  Pencegahan Tersier
            Sasaran pencegahan tingkat ketiga adalah penderita penyakit Frambusia dengan tujuan mencegah jangan sampai cacat atau kelainan permanen, mencegah bertambah parahnya penyakit tersebut atau mencegah kematian dan komplikasi akibat penyakit tersebut. Pada tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari penyembuhan penyakit Frambusia. Upaya yang dapat dilakukan adalah pengobatan, baik dengan obat pilihan, obat tambahan, atau pun obat alternatif.

3.3       Program Pemberantasan Penyakit Frambusia
Program pemberantasan penyakit frambusia dijabarkan dalam tujuan, sasaran, target, strategi , kebijakan dan kegiatan.
Tujuan terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus.  Tujuan umumnya adalah  eradikasi penyakit frambusia di Indonesia. Dan tujuan khusus telah diuraikan dalam bab 2.
Sasaran adalah seluruh penduduk di daerah fokus dengan prioritas golongan umur di bawah 15 tahun, baik yang berada di sekolah dasar, taman kanak-kanak maupun di desa atau masyarakat.
Target pemeriksaan minimal 80% dari sasaran dan pengobatan 100% penderita yang ditemukan dan kontak.
            Strategi dilakukan dengan melihat aspek besarnya masalah dan tingkat prevalensi.Atas dasar besarnya masalah, seluruh propinsi dibagi menjadi 3 wilayah yaitu wilayah bebas frambusia, wilayah pengawasan frambusia, dan wilayah penanggulangan. Selain itu juga melihat prevalensi. Ada perbedaan strategi pada provinsi dengan prevalensi frambusia <1 dari 10.000 penduduk dengan provinsi dengan prevalensi frambusia >1 dari 10.000 penduduk
Dari segi kebijakan, beberapa kebijakan telah ditetapkan sebagaimana tercantum dalam bab 2.
Kegiatan pemberantasan yang dilaksanakan terdiri dari kegiatan pokok dan kegiatan penunjang. Kegiatan pokok meliputi penemuan penderita dan kontak, baik secara aktif maupun pasif; selain itu juga ada kegiatan pengobatan serta follow up. Kegiatan penunjang terdiri dari penyuluhan, pencatatan dan pelaporan, pengelolaan logistik, monitoring dan evaluasi, kemitraan.
Selain menurut Dinas Kesehatan RI, terdapat pula acuan program pemberantasan frambusia menurut WHO, yang meliputi pemilihan obat yang dipakai, kebijakan  pengobatan, pelaksanaan langkah-langkah dan indikator.





DAFTAR PUSTAKA


Departemen Kesehatan RI. 2007.  Profil  Kesehatan  Indonesia. Jakarta : Depkes RI
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur. 2012. Penyakit Frambusia. Surabaya : Dinkes Propinsi Jawa Timur.

Ahressa, Lyssa. Frambusia. http://lissasyahreza.blogspot.com/2011/03/frambusia-latar-belakang-ada-dua.html (diakses tanggal 28 Maret 2013 pukul 12.00)
http://www.depkes.go.id/downloads/profil/Profil%20Kesehatan%20Indonesia%202005.pdf (diakses tanggal 28 Maret 2013 pukul 12.00)
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1188-kusta-dan-frambusia-penyakit-terabaikan.html (diakses tanggal 28 Maret 2013 pukul 12.00)
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs316/ (diakses tanggal 28 Maret 2013 pukul 12.00)
http://www.who.int/yaws (diakses tanggal 28 Maret 2013 pukul 12.00)











































  






















                                                               









Tidak ada komentar:

Posting Komentar